Sudah satu bulan ini saya disibukkan (lebih tepatnya, disiksa ;-)) oleh penyusunan proposal pengiriman karyasiswa/calon S3 ke LN lewat program presidential scholars fund. Dalam program tersebut universitas yang diundang dapat mengirim sampai 30 calon Ph.D ke LN (Amerika, Jepang, dll) untuk mendalami bidang unggulan universitas. Untuk bidang unggulan UI, sila jenguk ke sini .
Keterlibatan saya dalam pembuatan proposal banyak ditunjang oleh kemampuan saya dalam berbahasa Inggris. Sambil menyusun, saya perhatikan requirement nya adalah skor TOEFL 525. Tidak terlalu tinggi, karena calon toh akan dilatih lagi sebelum berangkat. Tapi sebetulnya, skor TOEFL itu pun tidak akan banyak berguna kalau kemampuan bahasa Inggris tidak dilatih terus.
Saya jadi ingat kembali ke jaman kuliah S2 dulu. Hari pertama kuliah di Madison Wisconsin, langsung ikut Introduction to Biochemistry dan pikiran pertama saya adalah "Walah, ini kalau tidak biasa dengar orang Amerika ngomong, bisa frustrasi nih!" Dosen bicara dengan cepat selama 120 menit di ruang kelas segede B 101. Apalagi mahasiswa Indonesia cuma saya seorang (jaman itu, belajar biochemistry tidak populer di kalangan mahasiswa Indonesia :-)) Sekarang sih, alumni Biologi UI lumayan bertebaran di universitas-universitas USA, Eropa dan Jepang. Sebagai guru, ya bangga dong melihat ini, walau kontribusi sebagai dosen Bahasa Inggris sih, keciiil.
Nah, karena melihat banyak friend request datang dari alumni-alumni (yang dulu pernah ikut kuliah Bhs Inggris ;-)), saya ingin garisbawahi lagi pentingya bisa Bahasa Inggris apabila ingin bersekolah (lagi). Kesempatan banyak, tidak perlu khawatir. Yang penting bukan mati-matian kursus TOEFL (yang makin lama makin mahal), akan tetapi exposure kepada Bahasa Inggris secara teratur. Kalau membaca Harry Potter atau Shopaholic series atau Da Vinci Code, cari versi Inggris, kalau nonton Spiderman jangan lihat teks subtitle. Mau belajar dari Ibu Sita lagi? Nggak kapok ya? 😉 Baca-baca tulisan saya di Sita’s musings . Saya pun harus terus melatih kemampuan saya, karena kalau tidak, kemampuan saya akan merosot juga. Maaf, belum banyak posting, karena harus curi-curi waktu (dan bandwidth UI yang lebar) seperti sekarang ini.
Lha kalau tidak mau sekolah di USA/UK/Australia kan tidak perlu Bhs Inggris? Betul, dan untuk mereka-mereka, sila abaikan posting ini :-)).
Siapa bilang kalau tidak mau sekolah ke USA/UK/OZ tidak perlu bahasa Ingris Bu?… Menurut saya itu pemikiran yang keliru. Seorang pegawai negeri sipil yang menterinya engga bisa bahasa Inggris pun menurut saya perlu mengekspose diri dalam tulisan, suara, dan percakapan Bahasa Inggris. Kalau menurut saya sih, yang tidak perlu Bahasa Inggris cuma orang yang tidak mau maju. Titip kirim pesan Bu buat para kandidat Ph.D agar mereka jangan rendah diri dengan nilai TOEFL yang “cuma” 525, sebab banyak orang dengan nilai TOEFL yang jauh lebih tinggi dari itu tidak mempunyai kemampuan yang sama tingginya di bidang unggulan yang akan ditekuni. Jadi, mendingan sedikit kesulitan dengan bahasa asal mau mengejar dengan latihan teratur serta selalu up grade daripada kesulitan dalam hal substansial bidang alias BOLOT hehehehe jadi ngecap gak karu-karuan (Ph.D kecap dooong jadinya)…. Balancing is a must, kan Bu?….
Bravo!!!
setuju dengan komentar di atas… lah, kan perlu juga bahsa inggris buat baca paper. walaupun bacanya di indonesia, papernya tetap bahasa inggris kan? salut untuk ibu sita yang rajin mengingatkan semua orang untuk tetap belajar (bahasa inggris). saya aja yang tiap hari ngomong inggris, begitu mulai belajar bahasa jerman dan perancis (gara-gara tinggal di jerman dan sekarang di swiss), bahasa inggris saya langsung belepotan… hehehe… memang harus dipakai terus sih kalau mau ok…
saya ingin bisa tau bhs inggris dan bisa
berbicara bhs inggris seperti orng jerman
bergerammer and tauv gjs
i am josua i live on jln dara
i go to sometimes on grown
reserved for cases like anggodo
t