Mengambil Pelajaran dari Perang Media Sosial: Pick Your Battles and Take the High Road

Waduh, ternyata ibu artis 80-an ini belum bisa/tidak mau kehilangan kesempatan untuk terus berkicau di media sosial twitter bahkan menyeret nama artis lain di tahun 80-an dengan menyebar berita gak bener. Kalau melihat kicauan dalam akun twitternya, maka mungkin bisa jadi bahan perkuliahan di fakultas-fakultas yang membahas perilaku manusia (atau makhluk hidup secara umum).

Dan, siapakah di antara kita yang tahan mendapatkan serangan terus-menerus tanpa henti? Kita kemudian memaklumi apabila mas Addie MS, mbak Memes dan putranya Kevin mulai secara selektif menjawab kicauan dari si bu artis karena kelihatannya si bu artis belum mau berhenti kalau belum dijawab (sudah dijawabpun, beliau masih terus berkicau). Saya harus memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada keluarga mas Addie yang mewujudkan makna peribahasa bahasa inggris di judul posting ini: Pick Your Battles. Take the High Road. Pilih-pilihlah pertarungannya, kalau tidak perlu jangan diladeni, ambil jalan yang lebih terhormat. Selain itu, menyaksikan interaksi bapak-anak di era digital juga mengesankan, misalnya bagaimana mas Addie mengingatkan Kevin untuk tidak terpancing melalui tweetnya.

Hal yang tidak kalah menarik dan membesarkan hati adalah sikap dan perilaku kedua putri  si ibu artis yang sangat dewasa dan mampu menahan emosi. Bisakah kita membayangkan perasaan mereka melihat perilaku ibu mereka dan bagaimana “balasan” masyarakat yang juga sadis? Di sini, kita harus memberi penghargaan kepada kedua orang tua mereka (ya, termasuk ibunda mereka yang tercinta). Their mama (and papa) raised them right.

Sikap dan perilaku mas Addie, mbak Memes, Kevin, Bella dan Chikita menurut saya sudah ,mulai jarang kita temui. Menyimak tweet mereka, memberi harapan pada kita, bahwa tidak semua selebriti dan keluarganya di Jakarta, Indonesia hanya bersikap menebar sensasi.

Advertisement

Perang Media Sosial yang Menyeret Nama Universitas

Tahun baru, cerita lama, modus baru?

Tadinya, saya cuma ikut ketawa melihat keributan yang ditimbulkan seorang artis tahun 80-an di beberapa blognya, antara lain di sini sambil bersimpati kepada universitas tetangga di Bogor. Bagaimana tidak, logo universitas diumbar sembarangan, nama seorang dekan diseret-seret nggak karuan. Tapi, itu memang resiko bagi anggota komunitas akademik (baca: dosen) yang memutuskan hadir di jejaring media sosial seperti facebook atau twitter.

Jadi apa sumber keributannya?  Bisa buka salah satu blog si ibu artis (ada beberapa), seperti di atas, atau di blogdetik. Intinya, ibu artis marah karena gelar akademiknya yang terakhir dipertanyakan oleh seorang pengguna twitter. Oleh karena ibu artis ini sudah pernah mengamuk juga sebelumnya, maka pengguna twitter di Indonesia secara kolektif tertawa bersama, kecuali tentu yang namanya ikut dibawa-bawa. Tapi yang kenal si ibu, sudah “maklum” perilaku beliau, dan tidak ingin ikut ribut.

Lalu, kenapa saya yang sekarang ikut ribut? Kalau teman saya bilang “mau ngaku-ngaku titisan dewa, atau Cleopatra, silakan, tapi jangan menyeret almamater.” Ya, bapak/ibu/saudara, ternyata orang memang senang kalau ada afiliasi dengan PTN-PTN besar di Indonesia, (walau saya dengar, akhir-akhir ini, jadi “orang UI” justru mengundang pertanyaan 🙂 Tapi itu untuk posting lain.). Jadi, kalau ada orang iseng membawa-bawa nama almamater, jelas gerah lah.

Kembali lagi ke masalah ibu artis vs seorang tweep, ternyata ada beberapa orang yang iseng-iseng mencoba cari latarbelakang orang yang disebut “kamseupay” oleh si ibu artis. Saya sendiri sudah familiar dengan orang tersebut dan tadinya tidak terlalu peduli karena menganggap beliau tidak penting, dan ingin nebeng “tenar” dengan kelompok dosen-dosen yang tergabung dalam gerakan #SAVEUI dan Perempuan Lintas Fakultas untuk Reformasi UI (PELITA UI).

Dan apa yang terjadi? Muncul sebuah akun twitter @PelitaUI, yang isinya mati-matian bela si tweep lulusan universitas Amsterdam, bahkan secara berseri menuliskan riwayat kuliah ibu lulusan universitas Amsterdam. Kalau isinya cuma itu, plus beberapa orasi ilmiah pengajar UI yang tergabung dalam #SAVE UI dan Pelita UI, ya silakan. Tapi hari ini, saya periksa, dan muncul tweet-tweet seperti ini:

1. “Seluruh Pengajar @SaveUI dan @PelitaUI adalah lulusan UI yg sahih @DeeDeeKartika @tamrintomagola @_Baso_

2.Tapi yg tergabung dalam @SaveUI dan @PelitaUI sahih karena kami lulus sebelum masa Gumilar @tamrintomagola @DeeDeeKartika @_baso_

Dan yang sudah bersifat fitnah, menurut saya adalah tweet ini, yang me-reply pertanyaan seorang alumni yang lulus pada periode 2007-2011:

“Gumilar banyak menerima mahasiswa baru jalur undangan yg tdk berkualitas @bebe_silhouette: Saya lulus era Bpk Gumilar, ada bedanya ya Bu?”

Hohohoho, mohon maaf, boleh berpandangan miring terhadap Pak Rektor, silakan lapor kepada BPK, KPK, ICW, dan berbagai institusi lain, tapi mempertanyakan kualitas input UI secara umum pada periode Pak Gumilar menurut saya adalah suatu penghinaan terhadap institusi UI. Kalau mau ngecek daftar mahasiswa yang diterima selama periode Pak Gumilar sampai saat ini (2008-2011), tolong cek ke Direktorat Pendidikan. Jangan main tweet yang seperti itu. BPK juga melakukan pengecekan kok selama audit di UI dengan secara random menelpon orang tua mahasiswa untuk cross check berita tentang uang masuk di UI.

Dosen UI jumlahnya sekitar 1800-an. Tidak dosen semua tergabung dalam kelompok #SAVEUI atau Pelita UI. Tidak semua dosen punya akun Facebook atau Twitter. Tapi itu tidak berarti bahwa dosen-dosen tersebut tidak bekerja keras untuk menghasilkan lulusan yang kompeten. Mungkin malah mereka lebih kerja keras karena tidak sibuk main twitter *wink*. Membuat pernyataan seperti itu di sebuah media sosial seperti twitter, sungguh tidak mencerminkan perilaku akademik.

Jadi #SAVEUI, Pelita UI tolong deh, kendalikan anggotanya. Orang yang peduli UI bukan cuma kelompok anda.

[Crosspost dari blog saya di UI karena penting bagi saya]