Don’t ever stop reading!
Kejujuran itu masih ada, kawan…
Bagi kita yang tinggal diĀ Indonesia,kita masih cukup sering memerlukan kehadiran seorang pembantu/asisten untuk mendukung kehidupan sehari-hari. Apalagi jika dalam rumah tangga ada anak ( < 12th) atau orang tua ( >60th). Biasanya “pasukan” asisten ini berasal dari daerah-daerah rural di Indonesia, dari keluarga yang kurang mampu dan mengirim putra/putrinya (atau malah sekeluarga) ber-“urbanisasi” ke kota, mencari penghidupan lebih baik.
Kenyataan bahwa, gaji sebagai asisten/pembantu seringkali masih “pas-pas-an” dan ditambah dengan perilaku si pemilik rumah yang suka jor-joran pamer, meninggalkan barang mahal di atas meja, belanja-belanja sering memunculkan godaan bagi si asisten tersebut.
Lalu berapa banyakkah asisten yang tergoda untuk mengambil barang/uang yang bukan miliknya? Mungkin lebih banyak yang diperkirakan. Maklum, keadaan memungkinkan (pemilik rumah pergi dan rumah dipercayakan kepada asisten).
Saya termasuk pemilik rumah yang beberapa kali jadi “korban” asisten “tergoda”. Kalau kepergok, ada saja alasannya. Saya sudah dengar cukup banyak dan sikap saya biasanya kasih kesempatan kedua. Atau ketiga. Akan tetapi setelah 2-3 kali tidak bisa jaga amanah dititipkan, maka lebih baik saya suruh cari pekerjaan lain saja.
Nah, kejadian terakhir, 2 minggu lalu, berkaitan dengan asisten di rumah ayah saya, dan sepasang giwang warisan ibu saya yang selalu saya pakai setelah ibu meninggal tahun lalu. Saat itu, saya melepas dan tidak menaruh pd tempat biasanya sehingga saat mau berangkat ke kantor, giwang tersebut terselip. Tapi saya tahu persis ada di kamar. Saya titipkan asisten di rumah untuk hati-hati dalam menyapu agar tidak ikut tersapu.
Jadiii… bayangkanlah perasaan saya ketika saya tanya lagi beberapa hari kemudian si mbak ngeles bilang “cuma ketemu satu, nggak saya simpen” Astaga, ini setelah secara eksplisit saya katakan untuk menyimpan apabila menemukan? Saya cuma bisa melotot dan mengatakan “HAH???” bolak balik saya tanya jawabnya “ngga tau, ngga tau…” akhirnya saya tinggal ke kamar, banting pintu dan menangis. Menangisi barang yang menjadi kenangan dari ibu saya. Dan berusaha mengikhlaskan.
Nasib si asisten? TIdak saya apa-apakan dulu, karena saya ingat pesan orang tua agar selalu hati-hati. Kita tidak bisa menyalahkan si “maling” krn itu sangat menggoda mereka (namanya juga manusia). Ada rasa curiga? Oh tentu ada, apalagi ketika dpt laporan si supir setia bahwa menurut “seseorang” barang itu masih ada di kamar. Si supir mencoba provokasi agar saya tanya kembali.
Entah kenapa hal itu tidak saya lakukan. Saya sedang dalam proses mengikhlaskan kehilangan, memaafkan kekhilafan, dan selalu ingat bahwa akan ada balasan bagi setiap perbuatan yang dilakukan. Kalau dia berniat tidak baik, pasti akan ada balasan yang setimpal. Jadi saya tidak mau berlebihan memberi pelajaran, karena bagaimanapun dia masih bantu merawat ayah yang duda. Saya usahakan bersikap se-normal mungkin ketika bertemu lagi dengan dia seminggu kemudian.
Daaaan… ternyata, kejujuran masih ada. Kemarin saya pergi seharian, ketika malam hari saya kembali saya melihat sepasang giwang tersebut ada di meja rias kamar saya. Alhamdulillah. Ternyata, si mbak masih punya hati nurani, masih menimbang perasaan dan mengembalikan giwang tersebut. Sungguh saya tidak menyangka dan untuk mengapresiasinya saya memang tidak menyampaikan secara langsung karena sebetulnya sudah mau “tutup buku” tapi saya kirim sms “Terima kasih untuk mencari kembali giwang saya.” Mudah-mudahan cukup karena saya tidak ingin punya kesan bahwa saya sempat curiga terhadap perilakunya.
Jadi pelajaran hari ini adalah: kejujuran masih ada, kawan. So, mari kita pupuk perilaku yang menanamkan kejujuran, integritas dan menghargai hak orang lain. Mudah-mudahan, yang sedang sumpah menyumpah di pengadilan dapat melihat kembali ke dalam hati, dan mengakui kesalahannya. Sungguh, itu sangat terhormat.